Minggu, 17 April 2011

Bahasa Indonesia sebagai Aspal Kolonial

A Windarto
Kompas Rabu, 28 Mei 2008 | 00:45 WIB

Tulisan P Ari Subagyo berjudul ”Masalah Utama Bahasa Indonesia” (Kompas, 3/5) menarik untuk dikaji lebih mendalam. Sebab, apa yang dipersoalkan dalam tulisan itu selalu menjadi perdebatan yang aktual di kalangan orang muda Indonesia sesudah mereka berkumpul dan berikrar dalam Soem- pah Pemoeda pada 1928.

Perdebatannya adalah di seputar ”kesatuan bahasa” yang baru saja digagas atau dibangun demi tujuan perjuangan untuk merdeka dari Belanda. Bagi Partai Indonesia Raya, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang diperintahkan untuk digunakan dalam semua pernyataan umum terhadap setiap anggotanya. Begitu pula dengan anggota-anggota pribumi di Volksraad, yang telah memutuskan untuk berbicara dengan bahasa Indonesia ketika bersuara dalam dewan tersebut.

Akan tetapi, seperti apakah sesungguhnya bahasa Indonesia yang ditunjuk oleh partai politik terbesar zaman itu dan badan penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut? Sebetulnya itu adalah juga bahasa Melayu. Namun, Melayu yang benar. Artinya, ”Melayu Tinggi” yang dibakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, Volkslectuur (Bacaan Rakyat) dan penerbit Balai Poestaka. Sering pula disebut ”Melayu Ophuijsen” sesuai dengan nama insinyur bahasa yang membentuknya.

Bahasa Melayu itu berbeda dengan ”Melayu Rendah”, ”Melayu Betawi”, atau ”Melayu bazaar (pasar)”, seperti yang dipakai oleh Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis dan penulis pribumi awal. Gaya penulisannya dikenal sebagai koyok Cino (seperti China) yang identik dengan China-Melayu. Namun, ia juga memakai campuran Melayu-Belanda yang begitu ekspresif atau bersifat banci-banci modernitas.

Oleh karena itulah, Mas Marco berulang kali ditangkap dengan jeratan pasal haatzaai (menyebarkan kebencian). Bahkan, di akhir hayatnya, ia hidup di kamp interniran Boven Digoel, Irian Barat, dalam pembuangan mirip dengan bahasa Melayu-nya. Sebuah bahasa jalanan yang dibuang, dikucilkan secara linguistik dan diasingkan dengan sukarela.

Kajian mengenai bahasa Indonesia—atau lebih tepat politik bahasa—di atas dipaparkan dengan baik oleh sejarawan Rudolf Mrázek dalam bukunya yang berjudul Engineers of Happyland. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006). Bahkan, dengan baik pula, Mrázek menempatkan dan mengibaratkan persoalan bahasa itu sebagai aspal. Hal ini sejalan dengan modernitas kolonial yang sedang digalakkan melalui pembangunan jalan dan rel modern.

Penampilan bahasa Indonesia pasca-Soempah Pemoeda tak lepas dari usaha untuk membuat suatu bangsa yang masih lemah dan sedang tumbuh menjadi seperti sebuah jalanan yang beraspal. Dengan penampilan seperti itu, bahasa Indonesia dihadapkan pada bahaya-bahaya yang merupakan permainan dari bahasa teknis (vaktaal). Dalam bahasa ini, ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah yang diharapkan mampu mengikat atau menyatukan rasa kesatuan dapat gagal dan bahkan hancur berantakan. Dengan kata lain, bahasa itu menjadi seperti ”tidak punya perasaan” (rasaloos) atau ”tidak punya malu” (ma-loeloos).

Akrobat otak

Itulah sebabnya bahasa Indonesia yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan sebagai bahasa persatuan tampil tak jauh berbeda dengan ”Pak Koesir yang telanjang kaki, bingung, ketakutan, gugup, ragu-ragu, dan pantas ditertawakan di tengah lalu lintas umum”. Penampilan itu adalah stereotip yang dikenakan kepada para pengguna jalan modern yang berlabel p.k. (paardekracht) atau ”daya kuda”, ”Sidin”, dan juga ”Simin”. Label-label itulah yang merepresentasikan identitas ”penduduk asli” atau ”pribumi” yang lebih sering menjadi korban kecelakaan/tabrakan di jalanan dan berjalan tanpa sepatu.

Masuk akal jika sejak semula bahasa Indonesia tak pernah utuh, apalagi terikat pada satu peraturan permainan linguistik semata. Melalui bahasa itu, terbuka kemungkinan untuk ”mengabstrakkan dunia dari keadaan- keadaan sosialnya” dan ”untuk membuatnya tampak seolah- olah, secara teknologis, menggantung di awang-awang”. Dengan demikian, bahasa seperti itu mampu merekatkan bersama segala sesuatu yang paling tidak akur, bahkan dapat bermanfaat untuk melawan rasa malas dan ketakutan dalam berbahasa karena mirip seperti sebuah batu yang dapat dipasang dan dilepas secara bebas seturut kepentingannya.

Konsekuensi logisnya, bahasa Indonesia menjadi seperti akrobat otak. Atau, mengeltaal, mischprache, gado-gado, ”bahasa campuran”, ”bahasa oblok-oblok”, ”bahasa campur aduk” yang tidak hanya memiliki satu rasa. Dengan cara itulah bahasa Indonesia tidak menjadi mesin, instrumen, dan bahkan komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar. Hal ini dapat dilacak dari pengalaman berbahasa kaum nasionalis radikal Indonesia yang menulis di majalah atau surat kabar tentang gerakan nasionalisme mereka. Yang ditulis—termasuk dilukis— bukan lagi wilayah Indonesia yang tropis dengan pemandangan alam yang hijau dan lebat.

Sekali lagi, Mas Marco, misalnya, dengan mudahnya menggores dan meretakkan, bahkan merusak, apa yang sudah dipoles atau diperhalus dalam bahasa ibu/asli. Singkatan Weltvaartscomissi (Komisi Kesejahteraan) dapat terlihat ”subversif” di mata pejabat kolonial yang terhormat ketika dibuat menjadi WC. Atau, boemipoetra yang secara teknis lucu dan menggigit disingkat sebagai bp Bahkan, Kromoblanda- nya Tillema yang memperlihatkan perpaduan yang tenang dan bahagia antara penduduk asli dan Belanda digubah dengan campuran Melayu-Belanda-nya menjadi ”kromolangit”, ”kromorembulan”, dan ”kromobintang”.

Tidak setiakah bahasa yang mencampuradukkan istilah-istilah asli dengan ungkapan-ungkapan yang seolah-olah datang dari dunia lain? Seorang pakar Jawa termasyhur, Dr Poerbatjaraka, pernah menyatakan kepada salah satu mahasiswanya bahwa keindahan bahasa (Belanda) terletak pada kemampuannya untuk tidak melukai orang (Jawa). Namun, bagi para pekerja kereta api di Semarang yang pernah menggalang aksi pemogokan terbesar pada 10 Mei 1923, istilah spoor tabrakan, ”tabrakan kereta”, justru menjadi teriakan perang yang mampu membangkitkan dan menggerakkan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda meski hanya dalam waktu 12 hari.

Bahasa memang potensial sebagai perekat kebangsaan di antara orang-orang yang tak saling kenal. Hanya masalahnya, bahasa seperti itu dapat muncul secara historis jika, salah satunya, tidak dianggap sebagai kebenaran yang dikeramatkan. Begitu pula dengan bahasa Indonesia yang telah mampu menumbuhkan nasionalisme. Bahasa itu sesungguhnya tidak dilahirkan di ruang- ruang resmi perserikatan/perkumpulan, tetapi ”dipungut” dari jalanan kolonial yang keras atau beraspal.

A Windarto Anggota Staf Peneliti Lembaga Studi Realino, Yogyakarta

sumber referensi :

http://anaksastra.blogspot.com/2009/11/bahasa-indonesia-sebagai-aspal-kolonial.html

Sejarah singkat dari pengkajian bahasa

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan konvensional yang digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi. Pengertian bahasa tersebut, sepertinya sudah menunjukan ciri-ciri bahasa yang bersifat Universal. Pengelompokan bahasa secara Universal dimaksudkan pada sebuah ciri umum, bahwa bahasa digunakan oleh manusia dalam setiap aktivitas dan segala aspek kehidupan. Oleh karena bahasa digunakan oleh manusia, sehingga munculah berbagai macam para ahli untuk mengkaji berbagai bahasa.

Sebelum abad ke-19 pengkajian bahasa hanya dilakukan dalam studi filsafat, hal ini dilakukan karena bahasa sebelumnya diposisikan sebagai objek filsafat. Sekalipun Zaman renaisance berkembang di Eropa pada abad ke-16 dengan munculnya tokoh bernama Descartes (Saya selalu teringat, Cogitu Ergu Sum, aku berpikir maka itu aku ada), bahasa tetap dijadikan sebagai objek filsafat, itu berarti ada kurun waktu yang cukup lama antara pengkajian bahasa yang ada sejak Zaman Yunani sampai zaman Renaissance.

Hingga akhirnya munculah seorang tokoh bahasa bernama Ferdinan De Sausure, ia merupakan bapak inguistik yang mengkajia bahasa secra modern, ia memposisikan bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai objek pengetahuan. Jos Daniel Parera (Kajian Linguistik umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural, hal 4) menyebutkan, seandainya kita hendak mempelajari sesuatu, entah itu ilmu. Maka kita akan dihadapkan pada tiga pertanyaan besar, pertama ialah apakah objek itu, kedua bagaimanakah kita mempelajari objek itu, dan yang ketiga apa manfaat studi itu.

Nah, itulah yang membedakan pengkajian bahasa secara device origin dan pengkajian bahasa secara modern oleh Ferdinan de Sausure. Perngkajian bahasa oleh Saussure merupakan sebuah revolusi besar terhadap pengkajian bahasa, setelah sekian lama bahasa hanya bagian dari ilmu filsafat, kini bahasa dikaji dan dipelajari oleh suatu studi ilmu bernama Linguistik.

Linguistik adalah suatu studi ilmu yang mempelajari bahasa. Penyebutan linguistik sebagai suatu studi ilmu, bukan hanya soal penyebutan secara spontan, tetapi ada semacam pertanggungjawaban. Pertama sebuah sebuah studi harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, kedua sebuah studi ilmu harus mempunya nilai ekonomis dan manfaat dan yang ketiga sebuah studi harus objektif atau tidak memihak.
Pengkajian bahasa tersebut, jika dikelompokan akan terbentuk tiga zaman yang mengkaji bahasa, pengelompokan zaman tersebut meruapakan usaha manusia dalam mempelajari bahasa. Diantaranya:

1. Tahap Device Origin
Tahap ini merupakan tahap ”kuno” dalam mempelajari bahasa, disebut kuno karena orang-orang pada zaman tersebut, masih mengelompokan bahasa dalam suatu tahap kealamian bahasa. Pengkajian ini masih berkaitan dengan asal-usul bahasa. Dari mana bahasa itu bersasal? Apakah Tuhan menurunkan bahasa? Pertanyaan seperti itulah yang muncul dalam tahap device origin. Berikut adalah contoh tahap manusia menemukan kebenaran bahasa.

a. Bangsa Mesir menggangap bahwa bahasa pertama adalah bahasa yang diturunkan oleh Tuhan pada Bangsanya. Percobaan ini dilakukan dengan memasukan seorang bayi ke dalam sebuah bangaunan tertutup. Bayi tersebut diisolasi dari kehidupan sosial, dan yang terpenting jangan sampai bayi tersebut mendengar bunyi bahasa. Setelah beberapa waktu bayi tersebut tinggal, ia kemudian dibawa keluar dan kata pertama yang diucapkan bayi tersebut adalah “becos” atau roti.
b. Bangsa jepang mengatakan bahwa bahasa pertama dibawa ameterazu sang dewa matahari.
c. Bangsa Cina mengatakan bahwa bahasa pertama dibawa oleh kura-kura.
d. Orang Jerman mengatakan bahwa Tuhan memakai bahasa Swedia.

2. Tahap Organic.
Pada tahap ini pengkajian bahasa sudah tidak melibatkan unsur ketuhanan dan dewa-dewa, sehingga bahasa pada tahap ini digolongkan dalam objek kajian filsafat.

3. Tahap Modern.
Kemunculan tahap modern ini, diwali dengan lahirnya buku Course The L:inguistic General” oleh Ferdinand De Saussure dinamakan juga kajian linguistik karena sudah disebut studi ilmiah. Pengkajian bahasa oleh Saussure menghasilkan suatu teori bahasa dan ciri dari bahasa yang diposisikan sebagai objek pengkajian linguistik.

Dari tiga tahap pengkajian tersebut, dapat saya simpulkan sebagai berikut:
1. Tahap Device Origin = Darimana bahasa berasal?
2. Tahap Organic = Bagaimana manusia bisa berbahasa?
3. Tahap Modern = Apa dan bagaimana bahasa itu?

Sumber referensi :

http://anaksastra.blogspot.com/2009/08/sejarah-singkat-pengkajian-bahasa.html

Melebur Karya Sastra Picisan

Catatan Muallaf Sastra
Hendri R.H

Saya masih tidak mengerti kenapa Pramoedia Anata Toer dilahirkan, terlebih berbagai karyanya dilarang pemerintah. Saya sendiri yang mendekam di jurusan sastra sempat menolak untuk membaca karya-karyanya, “kumpulan roman picisan” itulah kiranya yang sempat terucap. Praduga tak bersalah tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya roman yang dilahirkan awal abad ke-19 kebanyakan bertemakan cinta.

Sebuah karya sastra dalam ruang lingkup khazanah pembaca, setidaknya harus dipenuhi oleh pergulatan ideologis, pemahaman dan pencarian konsep filsafat. Permasalahan yang paling mendasar adalah konsep-konsep tersebut hanya dijadikan “ban serep” untuk mendukung gaya bercerita. Walaupun toh maksudnya ditulis secara eksplisit, tetap saja pengolahan diksi untuk menuju konsep filsafat dihadirkan secara eksplisit. Itulah mungkin kenapa saya tak begitu menyukai karya sastra berbau percintaan yang membosankan. Bukan tanpa alasan, lebih baik menonton film kalau hanya sekedar bernostalgia dengan cinta.

Saya selalu mempertanyakan kenapa novel-novel teenlit begitu banyak diminati oleh pembaca. Jika harus jujur, saya berani mengatakan bahwa novel itu tidak manfaat terutama bagi saya. Anda setuju, itu terserah anda? Tapi saya mempunyai alasan kenapa tulisan itu tak lebih dari novel picisan gaya baru.

Pertama, selalu teringat perkataan Sides Sudyarto sewaktu acara seminar sastra (FMIPA UPI), beliau mengatakan bahwa cerpen/novel bergaya teenlit terlalu jauh melangkah, terutama penggunaan bahasa yang “amburadul”. Terdoktrin dengan perkataan tersebut saya analisis berbagai cerpen dan novel bergaya Teenlit, hasilnya waw, sungguh mengagetkan tulisan ini racun atau madu bagi sastra Indonesia, atau bahkan sebagai pelemahan asas Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Berpijak pada pergelutan dan pergulatan gaya sastra abad modern, begitu banyak bermunculan aliran dan teori sastra, terlebih diiringi dengan karya-karya yang begitu deras bermunculan (Tak diimbangi dengan kritik sastra). Di satu sisi kemunculan novel dan cerpen tersebut merupakan sumbangsih yang begitu luar biasa, sastra bukan hanya berpesta pora oleh kaum elit atau bahkan para sastrawan yang saling memuji karya sastra, namun telah merasuk ke dalam kehidupan masyarakat awam, terutama anak-anak remaja.
Tetapi perkembangan sastra tersebut begitu “liar” terutama dalam pemakaian bahasa. Pencampuradukan pemakaian bahasa prokem terlalu kelewatan. Pemuatan kata-kata prokem misalnya gue, loe, coyat, atau kosa kata yang tidak sesuai kaidah tentunya menghadirkan sesuatu yang mengkhawatirkan. Dampaknya masyarakat khususnya anak muda tidak lagi mengenal mana Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Baik, harus sesuai dengan pemakaian dan benar, harus sesuai dengan norma atau kaidah kebahasaan. Apalah artinya sebuah karya sastra kalau untuk memuliakan bahasa sendiri tidak bisa, atau bahkan meracuninya. Padahal sebentar lagi peringatan sumpah pemuda, “Apalah bedanya kita dengan penjajah gaya modern kalau untuk memuliakan bahasa sendiri tidak bisa, terlalu menyakitkan mungkin bagi nenek moyang yang hidup memperjuangkan bahasa ini tetap menjadi bahasa persatuan”.

Memang itu hak bagi seorang penulis untuk mengeksplotasi pemilihan kata, tapi setidaknya ia perlu dibarengi dengan nilai-nilai kaidah berbahasa yang baik dan benar. Penulis tidak hanya menghadirkan karya bernuansa cinta untuk tujuan komersil, tetapi setidaknya mendidik masyarakat untuk lebih menghargai bahasanya.

Anda tidak percaya? Lihat saja implikasinya. Di FB ada orang yang menulis kata yang baku menjadi kata-kata aneh, coyat, luthu, dsd. Bahkan yang lebih parah ada huruf kapital di tengah kata “aKu mAu kE RuMah”. Kita hanya bisa menunggu, para penulis yang takluk pada besarnya arus bahasa prokem, atau jutru para penulis sendiri yang mebina masyarakat. Saya hanya menduga bahwa jawabannya tertuju pada satu kalimat “takut tulisannya tak laku, kalau bahasanya terlalu formal”.

Lagi himbauan itu didasarkan pada doktrin linguistik bahwa bahasa itu dinamis. Tetapi penggunaan istilah ini terlalu luas bahkan salah kaprah barangkali. Membericarakan bahasa yang dinamis setidaknya harus diikuti aturan dan tata norma yang ada, untuk apa kita mempunyai kita aturan tata bahasa baku kalau pun ujung-ujungnya masyarakat hanya memandang sebelah mata “hanya dijadikan konsefp formalitas akademik”.

Kalau Pemerintah mau sedikit berusaha, harus ada semacam pemaksaan bahasa. Misalnya dengan menaikan derajat bahasa Indonesia, agar mempunyai nilai. Jangan sampai Bahasa Indonesia tak bertuan di rumahnya sendiri. Program Tes Kemahiran Berbahasa harus segera dilakukan baik untuk keperluan kerja, maupun untuk tes akademik. Kita hanya mengandalkan TOEFL untuk tes bahasa, lalu dimana urgensi bahasa Indonesia? Saya sendiri yang berdiam di jurusan bahasa tak pernah tahu berapa nilai tes tersebut, memalukan. Ini implikasi nyata, bangsa ini terlalu menganggungkan konsep kebebasan berekspresi. Setidaknya inilah peran karya sastra, ketika masyarakat sudah demikian sastra hadir dengan konsep mendidik.

Kedua penentuan tema tersebut kadang hanya menonjolkan hedonisme anak-anak remaja, tak pernah saya menemukan novel Teenlit bertemakan nasionalisme atau pergolakan batin menuju wejangan filosof (Kalau anda menemukan saya sendiri dengan senang hati akan membacanya).

Apakah konsep-konsep seperti itu penting? Terlalu penting mungkin. Sastra tidak hanya hadir sebagai sebuah bacaan untuk bernostalgia, atau bahkan sebagai hiburan semata. Tetapi lebih dari itu sastra harus hadir sebagai bacaan yang mendidik. Novel dan cerpen Teenlit tidak harus berkutat tentang gaya hidup anak muda atau percintaan, pemuatan nilai-nilai kemanusiaan, norma agama dsb dirasa sebagai sebuah urgensi tersendiri.

Misalnya membuat novel teenlit yang bertemakan tentang korupsi, ini mungkin menjadi senjata pemerintah untuk mendidik masyarakat terutama anak muda untuk mengenal korupsi. Iklan dan wejangan dirasa cukup membosankan untuk mendidik anak muda yang perngaruh oleh gaya hedonisme yang begitu hebat. Pemuatan karya sastra seperti itu tidak hanya berdampak bagi pendidikan anak remaja, tetapi lebih jauh lagi mendidik masyarakat untuk mencintai dan menghargai peran dan fungsi karya sastra.

***
Kembali ke permasalahan awal, tadinya mau menghabiskan pembahasan mengenai novel teenlit, namun segelas kopi mendorong saya untuk membandingkannya dengan Tetralogi karya Premoedia Ananta Toer. Terlalu jauh memang membandingkan dua jenis novel tersebut, apalagi di waktu dan kultur zaman yang berbeda. Tapi apalah sebuah karya kalau hanya dikagumi tanpa dianalisis dan diapresiasi.

Roman pertama yang dibaca berjudul Bumi Manusia, teman saya yang membawakan untuk dibaca, hingga bertanya apa kehebatan Roman ini. Ratusan orang yang saya lihat profilnya di Facebook menulis Bumi Manusia sebagai buku Favoritnya. Ini keterlaluan, saya sempat mengutuk diri sendiri kenapa tak pernah menyentuh karya tersebut, awalnya hanya ingin membuktikan bahwa teman-teman di Fabecook tidak hanya menulis buku favorit tersebut sebagai ajang gagahan, tetapi ada esensi tersendiri.

Pram dalam pemikiran saya, dikenal sebagai orang yang selalu menghabiskan hidupnya di penjara. Entah itu takdir atau apa, yang pasti Tuhan menciptakan manusia tersebut bukan tanpa alasan. Setidaknya ia manusia pertama Indonesia yang berkali-kali masuk nominasi nobel sastra, andai kata pemerintah mendukung Pram mungkin ceritanya lain lagi. Indonesia akan mendapat orang yang pertama kali memenangkan nobel, mengagumkan.
Lalu apa kesalahnanya? PKI atau apa, ah saya tidak terlalu memikirkannya. Terlalu nisbi memikirkan nasib sastrawan tersebut, yang penting mahakarya beliau dapat di masukan ke dalam tinta emas kesusatraan.

Jika hendak berpikiran dekonstruktif, mungkin proses pembelajaran di balik tembok penjara ada untungnya (manusia selalu berkata “untung” walaupun itu adalah kecelakaan). Pram di balik penjara tidak lantas berhenti atau menuntut Tuhan, tetapi ia menulis, bahkan mengukir sebuah mahakarya dengan balutan penanya.

Baiklah saya terlalu jauh mengangungkan sastrawan ini, karena sebuah karya sastra akan begitu saja terlepas dari pengarangnya. Sastrawan hanya penyampai wahyu pemikirannya, setelah wahyu tersebut sampai ditulisnya, bukan orangnya untuk kita agungkan tapi tulisannya.

Dalam roman pertama berjudul Bumi Manusia, Pram membalut kultur percintaan dengan pergulatan ideologi dan pencarian jati diri seorang manusia tentang masa depan tanah airnya. Permilihan tema begitu apik, terkadang perlombaan antara kultur percintaan, nilai kemanusiaan, dan nasionalisme berbaur menjadi satu, tidak ada perlombaan tema atau ada kecenderungan Pram menonjolkan satu tema.

Jika dibandingkan dengan tema-tema novel remaja yang masih bergulat tentang percintaan. Pram nampaknya membawa tema picisan sekedar untuk melengkapi ruang lingkup cakrawala yang lebih besar, yaitu semangat nasionalisme dan nilai-nilai sosial. Tidak ada gaya borjuis atau hedonisme dalam cerpen itu, karena membicarakan cinta hanyalah alat untuk mencapai titik amanat yang luhur, yaitu mencintai tanah air.

Dalam pemilihan diksi sengaja ia memperkenalkan bahwa inilah Bahasa Indonesia, terlalu berapi-api mengatakan hal itu, bagi saya tidak. Ia dengan lantang membedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa daerah bahkan bahasa Belanda. Etimologi setiap diksi yang dirasa asing tidak lantas dijadikan arena gagahan untuk menguatkan “efek sastranya”, tapi ia mencoba mengekploitasi pemilihan diksinya menjadi sesuatu yang begitu lumrah dalam roman tersebut, sekalipun kita baru mengenalnya.

Seandainya novel teenlit mau bercermin pada mahakarya Pram. Mungkin peran dan fungsi sastra begitu jelas di masyarakat. Kita tak perlu mempersoalkan repetisi karya sastra yang begitu hebat atau bahkan mengarah ke plagiat, namun kita harus berkaca mau kemanakah arah sastra kita? Tak perlu berkutat pada komersialisme kalu ujung-ujugnnya menghacurkan anak bangsa, memang efek seperti ini tidak langsung terlihat, namun perlahan-lahan merubah pola hidup berbahasa masyarakat Indonesia. Inikah yang diimpikan Pram dalam romannya, tentu tidak kita tak perlu menjadi penjajah gaya modern yang menjejah bahasanya sendiri.

Tak begitu banyak yang bisa di analisis, menghakimi karya sastra sekelas tetralogi roman hanya dengan 4 sampi 5 paragraf sungguh tidak bijak. Saya sendiri perlu berpeluh keringat untuk benar-benar mengungkap makna di dalamnya.

Menghakimi karya sastra tentu sah-sah saja, semua orang bisa melakukannya, tetapi tetap saja ada kode etik yang mendasarinya. Tetapi untuk menentukan baik dan buruknya sastra tergantung pembaca sendiri. Seperti sebuah takdir, kadang kepenyairan seorang ditentukan oleh seseorang yang bernama ketua redaksi. Kalau mau jujur betapa susah menjadi penyair, harus mampu menembus benteng redaksi jurnal sastra. Bukan hanya kepenyairan, tapi masa depan kebudayaan ada ditangan otoriterisme redaksi. Proses penghakiman cukup ia katakan “karyanya belum layak dimuat”.

Terlalu jauh mungkin saya berkata-kata, terlalu banyak menggunakan kata mungkin dalam tulisan ini. Tetapi setidaknya kita bisa mengambil hikmah bahwa cerpen yang berbalut cinta tidak hanya berkutat pada gaya hidup anak muda yang mengarah pada nilai-nilai indovidualiasme, atau bahkan melupakan kebudayaan sendiri. Tetapi, tema-tema cinta dalam novel teenlit setidaknya dibarengi dengan nilai norma dan agama. “Para penyair yang bersajak tentang anggur dan rembulan” itulah kata W.S Rendra.

sumber referensi :

http://anaksastra.blogspot.com/2009/10/melebur-karya-sastra-picisan.html

Penantian dalam Pencarian (cerpen)

Cerpen Kiriman Nike Angguni T.L dari BSI Kelas II C

Sebuah cerita tentang perjalan hidup dan perjuangan untuk menemukan wanita yang telah melahirkanku. Inilah aku seorang gadis berusia 20 tahun . Aku adalah Yuri, Yurika Anastsya. Aku tinggal dipinggiran Kota Jakarta, di suatu pemukuiman yang warganya memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sejak kecil aku dibesarkan oleh kakek dan nenekku. Aku sangat menyayangi mereka tapi sejak 10 tahun yang lalu aku hanya tinggal berdua dengan Nenek, karena Kakek telah meninggal, sejak saat itu Nenek bekerja seorang diri demi menghidupiku. Nenek adalah semangatku, tetap tegar dan semangat bahkan Ia tak peduli dengan usianya kini telah lanjut . Aku selalu berdoa agar Nenek selalu diberi kesehatan dan umur yang panjang, karena hanya Nenek-lah miliku satu-satunnya di dunia ini.

Kini aku bekerja sebagai waitres. Aku bekerja paruh waktu sehingga aku bisa membantu-bantu nenek. Setelah lulus SMA, aku tidak melanjutkan pendidikanku karena aku tak ingin terlalu menyusahkan Nenek. Padahal aku bercita-cita menjadi seorang dokter, tapi sepertinya itu ta akan mungkin terjadi. Oleh karena itu, aku memilih untuk bekerja agar aku bisa membantu ekonomi Nenek. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan Nenek karena aku sangat menyayanginya. Jam kerjaku mulai dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Jadi sebelum aku pergi bekerja, Aku bisa membantu Nenek jualan dipasar.

Aku dibesarkan Nenek sejak bayi, tak jarang aku berpikir sebenarnya aku anak ibuku atau anak Nenekku? Belum pernah sekalipun aku bertemu dengan Ibuku, melihat langsung wajah Ibu. Aku hanya dapat melihat wajah Ibuku dari sebuah foto . Lantas kemanakah Ayahku? tak pernah sedikitpun Nenek bercerita tentang Ayahku, tentang Ibuku, setiap aku bertanya kepada Nenek, Ia hanya dapat menangis dan selalu bilang, “Suatu saat nanti kamu pasti akan mengetahuinya, Nenek akan menceritakan semuanya jika sudah tepat waktunya.” Sebenarnya aku sangat ingin mengetahui lebih banyak cerita tentang kedua orang tuaku. Tapi aku juga tak ingin melihat nenek menangis, keceriaan Nenek adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Akhirnya aku tak pernah menanyakan hal itu lagi.

Pagi ini nenek alpa dari kegiatannya berdagang di pasar karena pagi ini nenek sakit, sehingga aku tak mengijinkanya untuk berjualan. Aku membiarkan Nenek beristirahat di rumah saat aku pergi bekerja, aku menitipkan Nenek kepada Mba Sri, tetanggaku yang sudah aku anggap seperti kakaku sendiri. Sedih rasanya melihat Nenek terbaring sakit. Tangan dan kaki nenek tak dapat bergerak, aku panik saat tahu itu sehingga aku langsung membawa Nenek ke Rumah Sakit, ternyata setelah diperiksa dokter, Nenek terkena serangan stroke. Aku sangat sedih mendengarnya. Tapi dengan penuh kasih sayang aku tetap marawat nenek.

Pada suatu malam, Nenek memanggilku dan memintaku untuk duduk disamping ranjang tempatnya berbaring lemah. Ia berkata “ Nak, Nenek rasa kini tiba saatnya kamu tahu semua rahasia yang telah Nenek pendam selama 20 tahun, tapi nenek minta kamu jangan pernah sedikitpun membenci Nenek, karena Nenek telah menyimpan ini semua seumur hidupmu. Dan satu lagi nenek minta kepadamu, kamu harus menerima semua kenyataan yang ada dalam hidupmu. Nenek percaya, kau adalah anak yang baik dan tak akan mungkin membenci dan mengingkari kenyataan.” Rasa penasaranku semakin besar , ada apakah sebenarnya yang terjadi ? Akhirnya, nenek menceritakan semuanya.

Oh… Tuhan sungguh tak percaya dengan kenyataan ini.

Ibuku adalah seorang pasien Rumah Sakit Jiwa, dan aku dalah anak seorang korban pemerkosaan. Mungkin karena itulah alasan Nenek tak pernah menceritakan keberadaan Ibu apalagi ayahku. Lantas siapakah Ayahku ? dan dimanakah Ia kini?

Sejak peristiwa pemerkosaan itu, Ibu mengalami depresi berat sehingga akhirnya Ibu seorang pasien Rumah Sakit Jiwa di kota Bandung. Sewaktu Kakek masih hidup, Nenek dan kakek sering mengunjungi Ibu, hampir setiap minggu mereka mengunjunginya, sampai akhirnya Ibu melahirkan Aku. Melihat keadaan Ibu yang seperti itu, akhirnya Kakek dan Nenek membawaku pulang dan merawatku hingga kini aku menjadi seorang gadis yang tegar dan semangat seperti Nenek. Kakek dan Nenek mereka sibuk dengan pekerjaanya dan merawat aku akhirnya mereka jarang menemui Ibu apalagi setelah Kakek meninggal Nenek tak pernah lagi menemui Ibu.

Suatu hari, Nenek memberikan secarik kertas dan sebuah foto seorang wanita yang Nenek bilang itu adalah Ibuku. Pada foto itu tertera sebuah nama seorang wanita yaitu Lanny Widiawati itu adalah Ibuku. Nenek memintaku untuk menemui ibuku. Sungguh rasanya sangat tak mungkin untuk aku meninggalkan Nenek dalam keadaan sakit seperti itu. Apalagi mencari seorang tidak akan mungkin dalam 1 atau 2 jam saja, apalagi sebelumnya aku belum pernah menginjakan kaki di Bandung. Nenek terus memaksaku, akhirnya aku pun memutuskan untuk menuruti keinginan Nenek dan berniat meminta Mba Sari untuk menemani nenek untuk sementara waktu selama aku berada di Bandung.

Sore ini juga aku pergi ke Bandung untuk melakukan pencarian, dengan berat hati aku pergi meninggalkan Nenek. Nenek berpesan kepadaku “Nak, jaga dirimu baik-baik segeralah kembali kalau kau sudah menemukan ibumu.”

Akhirnya aku pergi ke Bandung, setibanya aku di Bandung, aku merasa seperti begitu asing berada dikota tersebut. Aku mulai bertanya kepada orang-orang yang sedang berada di situ tentang alamat tempat Ibuku tinggal.

Aku sempat kesasar untuk beberapa kali. Tapi untungnya ada seorang Ibu muda yang mau menunjukan tempat keberadaan Ibuku. Ibu muda yang mengantar aku memiliki permasalahan yang sama yaitu Ia pun hingga kini belum pernah bertemu dengan Ibu kandungnya, karena Ibunya meniggal saat melahirkannya.

Tibalah aku di tempat itu yaitu sebuah bangunan tinggi yang dikelilingi oleh pepohonan dan taman. Di sana terlihat banyak orang-orang yang tak waras sedang banyak yang bermain- main layaknya anak kecil.

Oh Tuhan…. seperti apakah keadaan Ibuku? Apakah Ibu juga seperti itu ? Seorang Satpam memberitahuku untuk menemui Ibu Suster Kepala, aku pun diantar sampai keruangan tempat Suster Kepala itu. Aku bertanya satu persatu tapi Ibuku katanya tak ada di sana lagi. Katanya, Ibuku dibawa lari oleh seorang mantan Suster Kepala karena dulu tempat itu pernah mengalami suatu peristiwa kebakaran. Ketika Ibu Suster Kepala bercerita demikian aku mulai putus asa , kemala lagi aku harus mencari Ibuku ? aku mencoba meminta alamat Ibu Suster Kepala yang membawa pergi Ibuku. Tapi sayangnya Beliau tidak mempunyai alamat Ibu Rosy, Mantan Ibu Suster Kepala.

Lantas, mengapa Ibu Rosy hanya membawa pergi Ibuku? Jawab Ibu Ratna kepala Suster yang kini, katanya Ibu Rosy sangat dekat dengan Ibuku, Ia menganggap Ibuku seperti Ibunya sendiri. Ibu Ratna memberiku sebuah foto wanita paruh baya, itu adalah foto Ibu Rosy, orang yang membawa pergi Ibuku. Tetapi aku merasa seperti pernah bertemu dengan wanita itu, ternyata Ia adalah Ibu muda yang tadi mengantarku ketempat ini. Karena Ibunya telah meninggal , maka Ia pun begitu menyayangi Ibuku. Tapi Untungnya ada yang memberitauku tentang alamat Ibu Rosy yaitu seorang tukang kebun yang sudah berada disitu sejak lama. Rasa putus asaku sejenak hilang karena Tuhan memberiku jalan untuk mencari Ibu kandungku. Aku pergi meninggalkan tempat itudan terus mencari keberadaan Ibuku dengan menyelusuri jalan Kota Bandung yang begitu ramai dengan lalu lalang kendaraan dan para pedagang yang berjualan disepanjang trotoar. Pencarianku hari ini tak membuahkan hasil. Aku memutuskan untuk mencari tempat untuku bermalam.

Esok harinya aku mulai melakukan pencarian lagi, hingga akhirnya aku menemukan alamat yang diberi tukang kebun itu kepadaku. Aku mengetok rumah itu, seorang Bapak-bapak keluar membukakan pintu. Aku menanyakan tentang Ibu Rosy, tapi ternyata Ibu Rosy telah 2 tahun pindah dari rumah itu. Aku sangat putus asa, keputusasaanku membawaku kembali keJakarta. Aku ingin melihat keaadaan Nenekku. Aku seperti kehilangan jejak akhirnya aku berhenti melakukan pencarianku.
Sakit Nenek bertambah parah. Aku menyesal telah meninggalkan Nenek untuk pergi ke Bandung. Aku sedih melihat keadaan Nenek yang semakin hari semakin parah. Aku membawa nenek keRumah Sakit , aku tak tega membiarkan Nenek menderita seperti itu. 2 hari diRumah sakit, Nenek tak bisa diselamatkan. Nenek pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Kini aku tak punya siapa-siapa lagi diDunia ini, aku kehilangan orang yang paling aku sayang yang telah merawat aku hingga kini.

Merasa tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, kecuali Ibuku, aku memutuskan pindah keBandung dan mulai kehidupan bari disana. Aku mulai mencari pekerjaan dan mencari tempat tinggal. Kini aku telah bekerja disebuah restoran. Sambil bekerja aku mencari Ibuku. Setelah bekerja selama 6 bulan, aku melihat seorang wanita yang pernah mengantarkan aku dan yang telah menunjukan tempat Ibuku tinggal.. Ia adalah Ibu Rosy orang yang selama ini merawat Ibuku. Dengan rasa yakin aku mendekati Ibu itu dan bertanya ” apakah Ibu, Ibu yang pernah mengantarkan aku ke Rumah sakit Jiwa tempat Ibuku?” Ibu menjawab “ ade…?” “ ya Ibu, ini aku, apakah aku boleh bertanya kepada Ibu ?” “ boleh nak, dengan senang hati Ibu akan menjawab pertanyaanmu .” dan ternyata memang benar ia adalah perawat yang waktu itu membawa lari Ibu pada peristiwa kebakar tiu. Aku diajak kerumahnya dan aku dapat melihat Ibuku. Hatiku senang karena aku dapat melihat langsung dan memeluk Ibuku, wanita yang selama ini aku cari, yang lebih membuatku bahagia adalah Ibuku telah sembuh dari penyakit kejiwaanya. Ibu Rosy telah menganggap aku adiknya dan memintaku tinggal bersamanya.
Inilah kisahku, kisah hidup dan perjuanganku untuk mencari Ibu kandungku.

sumber referensi :

http://anaksastra.blogspot.com/2009/03/penantian-dalam-pencarian.html

Bahasa Indonesia , antara gengsi dan Nasionalisme

Disadari atau tidak, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang memainkan peran yang sangat penting dalam mengikat persatuan dan kesatuan. Dalam sumpah pemuda tahun 1928, dijelaskan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan dan dijadikan sebagai satu bahasa kesatuan, Itu berarti bahwa bangsa kita terdahulu sudah mengerti akan adanya perencanaan bahasa (language planning). Hal tersebut kemudian dikokohkan dengan adanya undang-undang yang mengaturnya. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”.

Dalam tataran ilmu sosiolinguistik, keadaan kebahasaan di Indonesia kini, pertama ditandai dengan adanya sebuah bahasa nasional yang sekaligus juga menjadi bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia. Kedua, adanya ratusan bahasa daerah yang ada di seluruh nusantara, dan ketiga, adanya sejumlah bahasa asing yang digunakan atau diajarkan di dalam pendidikan formal. Ketiga bahasa ini secara sendiri-sendiri mempunyai masalah, dan secara bersama-sama juga menimbulkan masalah yang cukup kompleks, dan perlu diselesaikan.

Tidak mempunyai nilai jual
Ada masalah yang cukup mendasar dalam perkembangan bahasa Indonesia dalam era globalisasi budaya sekarang. Melihat fakta di lapangan, bahwa bahasa Indonesia tidak mempunyai nilai jual, sehingga cenderung masyarakat menomorduakannya. Dari mulai aspek

komersialisme sampai aspek administrasi negara misalnya. Kita cenderung menganggap bahwa penggunaan bahasa asing lebih mempunyai nilai loyalitas dibandingkan dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Dari segi perniagaan, penggunaan bahasa asing sungguh mengkhawatirkan. Lihat saja di toko-toko atau tempat keramaian lain, intensitas penggunaan bahasa asing meningkat. Tentunya bukan hanya dari segi perniagaan saja yang mengindikasikan bahasa Indonesia terpinggirkan, dalam aspek penerapan misalnya, bahasa Indonesia cenderung digunakan hanya sebatas untuk urusan komunikasi belaka. Padahal jika kita sedikit berani untuk menaikan gengsi bahasa Indonesia, tentunya lain lagi ceritanya. Misalnya dengan menggunakan Tes Kemampuan Bahasa Indonesia.

Bila dibandingkan dengan bahasa Inggris yang sudah mempunyai rasa “gengsinya”, dengan mengeluarkan Test of English as Foreign Language (TOEFL) sebagai pengukur kemampuan penggunanya. Kenapa bahasa Indonesia tidak mempunyai hal tersebut? Orang akan bangga jika mempunyai nilai TOEFL yang bagus, tapi belum tentu nilai Tes Kemampuan Bahasa Indonesia bagus.

Orang yang akan melamar kerja, melanjutkan pendidikan, dsb. Biasanya akan diminta nilai TOEFL sebagai sarat untuk memenuhi administrasinya. Padahal jika bahasa Indoensia diterapkan demikian, kiranya orang-orang akan sadar akan pentingnya bahasa Indonesia sendiri, lebih jauh lagi akan mempunyai nilai jual yang tinggi dan bersaing dengan bahasa asing. Mungkin perlu ada sosialisasi akan perlunya tes kemampuan bahasa Indonesia, peran Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembanganb Bahasa (LP3B) juga diperlukan.

Masalah gengsi
Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, seharusnya digunakan dalam berbagai aspek kehidupan baik itu kehidupan formal maupun nonformal. Dalam aspek pengajaran semestinya bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa pengantar pengajaran, dan penerapan tersebut harus terus dilakukan untuk memupuk rasa nasionalisme.

Rasa gengsi berbahasa sepertinya sudah mengakar, orang akan merasa lebih pintar bila menggunakan bahasa asing terutama bahasa Inggris. Mereka mengganggap bahasa asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Orang Indonesia merasa malu bila tidak menguasai bahasa asing, padahal belum tentu mereka mahir menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, orang akan merasa lebih pandai bila menggunakan bahasa asing dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia.

Pada kondisi seperti inilah bahasa Indonesia harus mempertahankan jati dirinya, lebih-lebih krisis kosakata bahasa Indonesia juga mulai muncul kepermukaan. Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing. Padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, download, copy, paste, print, klik masing-masing untuk “unduh”, “salin”, “cetak”, dan “tekan”.

Kenapa orang Indonesia justru lebih senang menggunakan istilah-istilah asing? Mungkin mereka beranggapan bahwa bahasa yang maju adalah bahasa yang banyak menggunakan istilah asing, mungkin juga tujuannya untuk mengimbangi bahasa Indonesia agar sesuai dengan jaman. Padahal justru hal tersebut menjadikan bahasa Indonesia tidak mempunyai jati diri. Kalau dalam bahasa Indonesia sudah ada istilah-istilah tersebut, mungkin ada baiknya kita menggunakannya.

Tanggung jawab maju atau mundurnya bahasa Indonesia, tentunya akan kembali lagi kepada pengguna bahasa itu sendiri. Kesadaran demikian harusnya dipupuk sejak awal. Kita jangan hanya mengedepankan aspek gengsi berbahasa, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tentunya akan memupuk rasa nasionalisme atau kecintaan terhadap tanah air. Usaha-usaha tersebut memang harus digalangkan untuk mempertahankan bahasa Indonesia dari gempuran budaya-budaya asing, apalagi ditengah globalisasi budaya dunia.

Pada kondisi seperti inilah kita harus memilih antara rasa gengsi menggunakan bahasa asing atau lebih mementingkan rasa nasionalisme.

sumber referensi :

http://anaksastra.blogspot.com/2009/06/bahasa-indonesia-antara-gengsi-dan.html

Puisi

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi

Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
(2) Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
(3) Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
(4) Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
(5) Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
Disadur dari endonesia.wordpress.com

sumber referensi :

http://anaksastra.blogspot.com/2009/02/definisi-puisi.html

Chairil Anwar

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rekannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Daftar Pustaka:
Dari Berbagai sumber

sumber referensi :

http://anaksastra.blogspot.com/2009/01/biografi-chairil-anwar.html

Kedudukan Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di kawasan republic kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lainbersumber pada ikrar Ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: “Kami Poetera dan Poeteri menjunjung bahasa persatuan I ndonesia: dana pada Undang-undang Dasar 1945 kita yang didalamnya tercantum pasal khusus yang menyatakan bahwa “bahasa negara adalah bahasa Indonesia”. Namun, di samping itu masih ada beberapa alas an lain mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang terkemuka di antara berates-ratus bahasa Nusanatara

yang masing-masing amat penting bagi penuturnya patokan seperti jumlah penutur, luas penyebara, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.
Jika menggunakan patokan yang pertama, yakni jumlah penutur, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi, jika pada jumlah itu ditambahkan penutur dwibahasaan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, kedudukannya dalam dereratan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat kedua, lagi pula, hendaknya disadari bahwa jumlah penutur bahasa Indonesia lambat laun akan bertambah. Pertambahan itu disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, arus pendah kekota besar, seperti Jakarta, yang meruapakan pumpunan pendatang yang berbeda-beda bahasa ibunya, menciptakan keperluan akan alat perhubungan bersama. Jika orang itu menetap, anak-anaknya tidak jarang akan dibesarkan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa Pertamanya. Kedua, perkawinan antar suku sering mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah yang dipakainya banyak perbedaannya. Ketiga, yang berkaitan dengan patokan kedua di atas, generasi muda golongan warga Negara yang berketurunan asing ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Anaknya akan dididik dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang dipakai di lingkungannya. Keempat orang tua masa kini, yang sama atau berbedalatar budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia.
Patokan yang kedua, yakni luas penyebaran, jelas menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai orang di daerah pantai timur Sumatra, di Kepulauan Riau dan Sumatra. Jenis Kreol bahasa Melayu-Indonesia, yakni Melayu-Indonesia yang bercampur dengan bahasa setempat, didapati di Jakarta dan sekitarnya, Manado, Ternate, Ambon, Banda, Larantuka, dan Kupang. Sebagai bahasa kedua, pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ujung timur dari dari pucuk utara samapi ke batas selatan negara kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari di luar negeri seperti, Amerika, Australia, Jepang, Belanda, Ceko China, India, Inggris, Singapore, dan lain-lain yang, jika ditinjau dari sudut ilmu bahasa, merupakan bahasa yang sama juga dengan bahasa Indonesia.
Patokan yang ketiga, yakni perannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah benar-benar menjadi satu-satunya wahana dalam penyampaian ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapkan seni sastra dan budaya bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang budaya serta bahasa daerah yang berbeda-beda.
Uraian di atas memberikan gambaran betapa pentingnya bahasa Indonesia bagi kita. Berdasarkan ketiga patokan itu, bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada bahasa daerah. Harus dicatat di sini bahwa kedudukannya yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya jumlah kosakatanya atau keluwesan dalam kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan daya ungkapnya. Di dalam sejarah manusia pemilihan suatu bahasa sebagai lingua franca, yakni bahasa petrantara orang yang latar belakangnya berbeda, bahasa kebangsaan, atau bahasa internasional tidak pernah di bimbing oleh pertimbangan linguistik, logika, atau estetika, tetapi selalu oleh patokan politik, ekonomi, dan demografi. Dialek kota Athena, misalnya, yang menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan orang Yunani sebelum datangnya kekuasaan Romawi, menjadi bahasa umum bersama(koine) yang menggantikan dialek Yunani yang lain sebagai tolok ukur.

sumber referensi :

http://anaksastra.blogspot.com/2008/10/kedudukan-bahasa-indonesia.html

Sabtu, 02 April 2011

Resensi Film "Garuda di Dadaku"


A. Identitas Film

Jenis Film :
Drama – Semua Umur (general))

Produser :
Shanty Harmayn

Produksi :
Sbo Films Dam Mizan Productions

Sutradara :
Ifa Isfansyah

Penulis :
Salman Aristo

Pemain :
Emir Mahira (Bayu), Aldo Tansani (Heri), Marsha Aruan (zahra), Ikranagara (kakek bayu), Maudy Koesnaedi (ibunda bayu), Ary Sihasale , Ramzi


B. Resensi Film Garuda Di Dadaku

Garuda Di Dadaku adalah film keluarga yang bercerita tentang Bayu, seorang anak SD, yang mempunyai mimpi menjadi seorang pemain bola dan masuk ke Tim Nasional Indonesia. Bayu mempunyai bakat bermain sepak bola dari ayahnya yang dulunya juga adalah seorang pemain sepak bola. Sayangnya, cita-cita Bayu itu ditentang oleh sang kakek yang lebih senang cucunya mengikuti berbagai macam kursus demi masa depannya. Ternyata kakek mempunyai alasan yang kuat kenapa ia melarang Bayu bermain bola.

Ayah Bayu yang dulunya seorang pemain bola mengalami cedera berat pada waktu itu sehingga tidak bisa bermain bola dan akhirnya hanya menjadi seorang supir taksi. Sampai akhirnya ia tidak bisa menjadi seorang pemain bola yang hebat dan sukses. Kakek Bayu tidak mau nasib yang sama menimpa Bayu cucu yang ia sayangi. Bayu yang benar-benar mencintai sepak bola tidak mau begitu saja menuruti apa kata kakeknya. Apalagi ketika secara tiba-tiba ia mendapat tawaran beasiswa di sebuah sekolah sepak bola terkenal di Jakarta yang dapat membantunya masuk ke Tim Nasional Indonesia. Alhasil, Bayu dibantu oleh temannya, Heri, harus menyembunyikan hal ini dari kakek Bayu dan berlatih secara diam-diam. Heri adalah seorang anak orang kaya yang menggilai sepak bola tetapi sayangnya ia tidak bisa bermain bola karena ia adalah penyandang cacat dan harus duduk di kursi roda. Oleh sebab itu Heri sangat senang dan menjadikan dirinya sebagai manajer Bayu yang memfasilitasi Bayu begitu rupa demi mewujutkan cita-cita Bayu. Secara tidak sengaja mereka bertemu dan berteman dengan Zahra, seorang anak perempuan penjaga kuburan yang ikut mendukung cita-cita Bayu dengan mengijinkan Bayu berlatih di kuburan tempat ia tinggal. Setelah menemukan tempat berlatih pun usaha Bayu untuk meraih cita-citanya tidak berjalan dengan mulus.

Masalah pun muncul ketika Bayu membohongi kakeknya yang mengira bahwa ia berbakat menjadi seorang pelukis. Tidak diduga kakek datang dan melihat Bayu di sekolah sepak bolanya dan tiba-tiba ia terserang penyakit jantung dan dilarikan ke rumah sakit. Bayu merasa bersalah dan menyesal telah membohongi kakeknya. Ia memutuskan untuk berhenti bermain bola dan tidak berteman lagi dengan Heri karena ia menyesal telah mengikuti nasihat Heri. Tak disangka kakek Bayu sadar bahwa ia salah dan mendukung Bayu bermain sepak bola. Akhirnya Bayu kembali ikut seleksi tim dan kembali bersahabat dengan Heri. Dengan dukungan ibu, kakek, Heri dan Zahra, Bayu berhasil lolos seleksi masuk Tim Nasional Indonesia dan menggapai cita-citanya selama ini.

Tokoh utama dalam film ini adalah Bayu, seorang anak yang duduk di bangku sekolah dasar yang terus berusaha keras menggapai mimpinya menjadi pemain sepak bola. Ia memiliki fisik yang kecil tetapi mepunyai semangat tinggi walaupun ia tinggal di tengah keluarga yang sederhana tanpa ayahynya yang sudah meninggal. Tokoh yang lain adalah Heri, teman satu sekolah Bayu yang juga menggilai sepak bola. Ironinya ia tidak bisa bermain bola karena ia seorang penyandang cacat walaupun dengan kekayaan orang tuanya ia bisa membeli semua barang yang berhubungan dengan sepak bola. Satu lagi sahabat Heri dan Bayu adalah Zahra. Ia adalah seorang anak perempuan yang tinggal dengan kakeknya yang adalah seorang penjaga kuburan. Zahra digambarkan sebagai anak perempuan yang agak lusuh karena ia dan kakeknya hanya tinggal di kuburan dan hidup dengan sangat pas-pasan. Tidak seperti teman sebayanya, Zahra tidak bisa melanjutkan sekolah tetapi di akhir cerita ia mendapatkan kesempatan lagi untuk melanjutkan sekolah dasar.

Tema film ini adalah usaha seorang anak menggapai cita-citanya. Film ini mempunyai pesan bahwa kita harus berusaha dan tidak boleh menyerah dalam mencapai mimpi dan cita-cita kita. Kita juga harus mensyukuri apa yang kita punya karena ada orang-orang yang tidak seberuntung kita. Misalnya Bayu yang mempunyai talenta dan kesempatan untuk bermain bola tetapi Heri tidak bisa karena ia seorang penyandang cacat. Sebaliknya Heri mempunyai fasilitas-fasilitas dan orang tuanya yang tidak melarang hobi sepak bolanya, tetapi Bayu tidak bisa leluasa bermain sepak bola.

Jika dibandingkan dengan realita yang ada, film Garuda Di Dadaku bisa dibilang mewakili realita hidaup yang ada di Indonesia. Seperti film keluarga lainnya yang mengangkat usaha seorang anak dalam meraih mimpinya. Saya suka film Garuda Di Dadaku karena ini bukan film tentang cinta yang kadang membosankan dan juga film ini dapat ditonton oleh semua umur dan kalangan karena tidak mengandung unsur kekerasan. Film ini juga dapat membangkitkan rasa cinta dan nasionalisme bangsa terhadap Indonesia khusunya di dunia sepak bola Indonesia.

C . Kelebihan dan Kekurangan
kelebihan film ini tidak hanya bagus tetapi juga mendidik karena penuh dengan motivasional , persahabatan yang tulus , semangat untuk mencapai cita-cita , hubungan baik yang di jalain antara anak dan orang tua , dan tentu saja film ini membangkitkan semangat nasionalisme .

kekurangan film ini peran kakek kurang gereget karena kakek yang sejak awal membenci sepak bola dan selalu menghalangi cucunya agar tidak bermain bola diperlihatkan dengan ekspresi yang sangat emosional , yang membuktikan bahwa ia seolah-olah bangga dengan apa yang ia takutkan selama ini .

D. Saran
menurut saya jika durasi film ini ditambah mungkin lebih seru .